Menjelang peringatan ke 60 proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pada 16 Agustus 2005, dalam acara yang diselenggarakan di Departmen Luar Negeri RI, Jalan Taman Pejambon, Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot mengatakan:
“ …This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence…”
DAN dalam wawancara di MetroTV pada 19 Agustus 2005, atas pertanyaan Dian Krishna, mengapa dia menggunakan kata acceptance (penerimaan) dan bukan acknowledgement (pengakuan), Ben Bot menjawab:
“… First of all I want to stress that most important is that we accept the date of 17th August 1945 as the date which you pronounce your independence. But there is a difference of course, because then you enter into a legal aspect, and recognition is something you can only do once … …So the transfer of sovereignty took place in 1949…”
Dengan demikian, Pemerintah Belanda hanya “menerima” secara politis dan moral, dan tetap tidak mau mengakui de jure, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Dan bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah “pemberian” Belanda yang dilimpahkan (soevereiniteitsoverdracht) pada 27 Desember 1949, sebagaimana ditegaskan Ben Bot. Sehubungan agresi militer yang dilancarkan tentara Belanda, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dalam pidatonya pada 16 Agustus di Deplu Ben Bot mengatakan:
“…In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering…”
Jadi yang diucapkan adalah regret (penyesalan) dan bukan apology (permintaan maaf). Atas pernyataan Ben Bot tersebut, Radio Netherland pada 17 Agustus 2005 memberikan komentar dengan judul: “Belanda Sedih Tapi Tidak Minta Maaf.”
Sehubungan pertanyaan Dian Krishna mengenai masalah kompensasi, Ben Bot mengatakan antara lain:
“…First of all you should not forget of course, that in the past we have contributed large for the development aid…Not only sum of money. Many people have been here, many people from the Netherlands to help Indonesian people. We have undertaken large projects everywhere in the country to stabilate the growth… This is not the time to talk about compensation. We have tried to compensate in the past in many ways as I have tried to explained…”
Ben Bot di sini membalikkan fakta, kekayaan yang diperoleh Belanda dari Indonesia jumlahnya jauh melebihi “bantuan” yang diberikan Belanda kepada Indonesia, yang sebenarnya sebagian besar berupa utang yang harus dibayar kembali beserta bunganya. Di awal pembangunan kembali Belanda yang hancur setelah masa pendudukan Jerman selama Perang Dunia II, selain mendapat dana Marshall Plan sebesar 1,127 miliar dolar AS dari Amerika Serikat, Belanda juga memperoleh “dana kompensasi” dari Indonesia sebesar 4 miliar gulden. Sebagai salah satu butir hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan Pemerintah India-Belanda, harus menanggung utang Pemerintah India-Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar 6,5 miliar gulden. Akhirnya disepakati jumlah 4,5 miliar gulden –termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan Pemerintah Belanda untuk agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948- yang telah dibayar sebesar 4 milyar gulden antara tahun 1950 – 1956 (lihat tulisan Lambert Giebels: ”De indonesische injectie” dalam majalah Belanda De groene Amsterdamer, 5 Januari 2000). Pembangunan kembali Belanda yang pesat setelah Perang Dunia II dinamakan “keajaiban Belanda” (le miracle hollandais), seolah-olah hanya dengan bantuan Marshall Plan, dan perihal “de indonesische injectie” baru diungkap oleh Lambert Giebels di Belanda tahun 2000. Selain menghentikan pembayaran, Pemerintah Sukarno juga secara sepihak membatalkan hasil Persetujuan KMB mengenai Uni Indonesia-Belanda. Setelah itu dimulai konfrontasi terhadap Belanda sehubungan masalah Irian Barat (Papua) dan kemudian Pemerintah RI menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Namun Pemerintah Orde Baru pada 1969 diam-diam mengabulkan tuntutan ganti-rugi perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi di masa pemerintahan Sukarno sebesar 600 juta gulden. Banyak orang Belanda yang mengakui, kemakmuran Belanda sekarang berkat harta dan kekayaan yang mereka peroleh dari Bumi Nusantara selama ratusan tahun. Seandainya dihitung kekayaan yang dikuras dari bumi Nusantara selama ratusan tahun tersebut, jumlahnya pasti fantastis. Seorang mahasiswi Belanda, Annemare van Bodegom, pada 1996 mengadakan penelitian untuk menyusun skripsinya. Ia menyoroti periode antara tahun 1830 –1877, selama periode tanam paksa (cultuur stelsel). Keuntungan bersih (batig slot) yang diraup Belanda mencapai 850 juta gulden, yang bila dikonversikan dengan index harga tahun 1992, maka nilainya setara dengan 15,4 miliar gulden (lihat tulisan Denny Sutoyo-Gerberding, di harian Kompas 15 Agustus 2001). Dapat dibayangkan, betapa besarnya kekayaan yang dikuras dari tahun 1602 – 1942! Ironis memang, bukannya Belanda yang memberikan kompensasi, melainkan bangsa Indonesia yang terus-menerus “membiayai” pembangunan Belanda, termasuk di masa sulit mereka setelah perang Dunia II.
Apabila menghitung semua hal-hal tersebut di atas, maka “development aid” yang diberikan Pemerintah Belanda terlihat sangat kecil.
Namun mengapa Pemerintah Belanda tetap ngotot menyatakan, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949?
Ketika balatentara Dai Nippon menyerbu Asia Tenggara termasuk Indonesia, pada 9 Maret 1942 di Pangkalan Udara Kalijati dekat Subang, Jawa Barat, Jenderal Hein ter Poorten sebagai Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, secara resmi menandatangani dokumen MENYERAH TANPA SYARAT kepada Tentara XVI Jepang di bawah Letnan Jenderal Hitochi Imamura. Setelah digempur hanya 7 hari, tentara Belanda yang “perkasa” -hampir tanpa perlawanan sedikit pun- menyerah kepada tentara Jepang. Sangat memalukan bagi mereka, karena dengan demikian hilanglah mitos superioritas ras kulit putih, yang telah menyatakan diri sebagai ras unggul yang tak terkalahkan, ternyata dapat dikalahkan bangsa Asia! Dengan demikian Belanda kehilangan haknya atas India-Belanda. Fakta ini menunjukkan, Belanda tidak mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya dan melindungi rakyatnya. Ini terjadi antara lain disebabkan karena Pemerintah India-Belanda keras kepala dan menolak mobilisasi serta mempersenjatai rakyat Indonesia. Sebagaimana diusulkan banyak pemimpin bangsa Indonesia yang telah memperkirakan, Jepang akan melancarkan agresi militernya ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia, yang masih dijajah Belanda.
Lebih dari 200.000 orang Belanda ditahan Jepang di kamp-kamp interniran. Banyak dari mereka yang mati karena penyakit, siksaan atau karena kelaparan. Jepang kemudian juga menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945.
Namun dokumen kapitulasi tersebut baru ditandatangani pada 2 September 1945, di atas kapal Missouri di Tokyo Bay. Tentara Sekutu yang ditugaskan melucuti tentara Jepang pertama kali mendarat di Jakarta pada 29 September 1945, dan bahkan Brigade “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal AWS Mallaby baru tiba di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, di mana saat itu, seluruh tentara Jepang di Surabaya telah dilucuti rakyat Indonesia. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat Vacuum of power di seluruh wilayah pendudukan Jepang, termasuk di bekas jajahan Belanda. Di masa tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, dan pada 18 Agustus membentuk pemerintahan, dengan pengangkatan Sukarno sebagai Presiden dan M Hatta sebagai Wakil Presiden, sehingga dengan demikian tiga syarat untuk pembentukan negara terpenuhi, yaitu adanya wilayah, penduduk, dan pemerintahan. Dengan menyerahkan jajahannya secara resmi kepada Jepang, maka Belanda kehilangan segala legitimasinya atas wilayah tersebut. Karena itu, ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka peristiwa ini bukanlah pemberontakan terhadap Belanda, sebagaimana digarisbawahi delegasi Republik Indonesia yang dipimpin Lambertus Nicodemus Palar, dalam Memorandum yang disam paikan dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada 20 Januari 1949, setelah agresi militer Belanda II yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948, yaitu:
“… Bahwasanya menurut sejarahnya Republik Indonesia bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya. Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.
Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri. DEMIKIANLAH maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada imperialis Jepang tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat mempertahan-kannya, tetapi juga menolak memberikan kepada rakyat Indonesia sendiri kekuatan untuk melawan Jepang. Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri …”
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda yang tetap ingin menjadi penguasa di Indonesia, tidak henti-hentinya melakukan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai jajahannya kembali, baik melalui agresi militer, maupun melalui jalur diplomasi di PBB. Upaya Belanda tersebut, awalnya didukung Inggris dan Australia yang menyalahgunakan kewenangan sebagai tentara Sekutu (Allied Forces). Dengan kekuatan 3 Divisi Inggris (British-Indian Divisions) di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dan 2 Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie Morsehead menghancurkan kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Sesuai Civil Affairs Agreement antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, Inggris dan Australia “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan wilayah yang telah “dibersihkan,” kemudian diserahkan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).
Tentara Australia berhasil “membersihkan” wilayah Indonesia Timur, dan “menyerahkan kepada Belanda pada 13 Juli 1946. Dr HJ van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal kemudian menyelenggarakan Konferensi Malino pada 15 – 25 Juli 1946, dimana diletakkan dasar-dasar pembentukan Negara Indonesia Timur, awal rencana pembentukan negara federal Indonesia. Perjuangan di bidang bersenjata dan di bidang diplomasi para pemimpin Republik Indonesia serta tekanan dunia internasional akhirnya memaksa Belanda ke meja perundingan.
Pada 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang menghasilkan keputusan antara lain Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), dimana Republik Indonesia menjadi satu Negara bagian di samping 14 negara boneka bentukan Belanda. Pemerintah Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah RIS. Pada 27 Desember 1949 di Paleis op de Dam di Amsterdam, Belanda, Ratu Beklanda “melimpahkan kedaulatan” (Soevereniteitsoverdracht) kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, dan paralel dilakukan di Batavia/Jakarta, di mana Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Lovink “menyerahkan kedaulatan” kepada Wakil Perdana Menteri RIS Hamengku Buwono IX.
Namun sejak itu, satu per satu negara-negara boneka bentukan Belanda dipaksa rakyat untuk dibubarkan, atau sukarela membubarkan diri, dan pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran negara federal Republik Indonesia Serikat. Pada 17 Agustus 1950, dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus 1945. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Dengan demikian Pemerintah Belanda sekarang berhubungan dengan Republik Indonesia (NKRI), dan bukan dengan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS).
Demikianlah sejarahnya mengapa Belanda sampai sekarang tetap tidak mau mengakui, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Hal ini pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia, dan penghinaan terhadap martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Selama puluhan tahun, lebih dari 200.000 orang Belanda yang selama Perang Pasifik dari tahun 1942 – 1945 mendekam di kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia (dahulu India Belanda), menuntut Pemerintah Jepang meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada mereka atas “perlakuan buruk” yang mereka alami di masa itu.
Berbagai organisasi dan yayasan mereka dirikan, antara lain Stichting Japanse Ereschulden (Foundation of Japanese Honorary Debts) -Yayasan Utang Kehormatan Jepang- yang didirikan 4 pada April 1990. Yayasan yang terdaftar di PBB ini telah mengirim sebanyak 125 Petisi (!) kepada Pemerintah Jepang, dan yang terakhir tertanggal 12 April 2005. Akhirnya tuntutan mereka separuhnya terkabul. Pada 2 Mei 2005, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi secara resmi meminta maaf kepada rakyat Belanda. Dia mengatakan:
“Humbly accepting the fact that Japan inflicted grave damage and pain on people of many countries including the Netherlands during the Second World War, we would like to deeply reflect on this and offer heartfelt apology.”
Namun permintaan maaf Jepang kepada negara-negara yang telah menjadi korban keberingasan dan berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II, bukanlah dilakukan dengan tulus iklas, melainkan karena Jepang mempunyai maksud tertentu, yaitu Jepang berambisi duduk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan untuk itu perlu dukungan banyak negara.
Di Belanda, 5 Mei 2005 merupakan puncak perayaan besar-besaran dalam rangka 60 tahun pembebasan dari pendudukan Jerman selama Perang Dunia II. Pada 13 Mei 1940, Wilhelmina, Ratu Belanda kabur ke Inggris, dan pada 14 Mei 1940, Angkatan Perang Belanda menyerah Jerman. Di India-Belanda, Angkatan Perang Belanda menyerah kepada Jepang pada 9 Maret 1942, di Kalijati, dekat Subang. Pada 5 Mei 1945, Belanda dibebaskan pasukan sekutu dari tentara pendudukan Jerman, dan pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Hari-hari pembebasan tersebut dirayakan setiap tahun. Setelah bebas dari pendudukan Jerman dan dari interniran Jepang, Belanda lupa atas perilaku dan kekejaman tentara pendudukan Jerman di Belanda dan Jepang di India Belanda.
Hal yang sama, dan bahkan lebih kejam lagi mereka lakukan terhadap bangsa Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Dalam kurun waktu 1946 sampai 1949, di mana tentara Belanda, KL dan KNIL melakukan berbagai agresi militer -dalam upaya yang sia-sia untuk menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI)- banyak terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan tentara Belanda yang masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), seperti peristiwa pembantaian ribuan rakyat di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 sampai Februari 1947 dan di Rawagede pada 9 Desember 1947. Terdapat 431 penduduk desa dibantai, karena mereka tidak mau memberitahu tempat persembunyian gerilyawan Indonesia.
Pelanggaran-pelanggaran HAM berat harus dimajukan ke pengadilan internasional, termasuk ke pengadilan kejahatan internasional - International Criminal Court - di Den Haag, Belanda, karena merupakan kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Apabila Belanda menuntut Jepang atas “perlakuan buruk” yang dialami para interniran Belanda antara tahun 1942 – 1945, maka sudah pada tempatnya bila bangsa Indonesia menuntut keadilan atas agresi militer, pembantaian rakyat yang tak berdosa, perkosaan terhadap perempuan, yang dilakukan tentara Belanda antara tahun 1945 – 1950. Pemerintah Belanda harus mengakui kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945, meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan, serta memberikan kompensasi atas semua kehancuran yang mereka lakukan, terutama antara tahun 1945 - 1950.
“ …This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence…”
DAN dalam wawancara di MetroTV pada 19 Agustus 2005, atas pertanyaan Dian Krishna, mengapa dia menggunakan kata acceptance (penerimaan) dan bukan acknowledgement (pengakuan), Ben Bot menjawab:
“… First of all I want to stress that most important is that we accept the date of 17th August 1945 as the date which you pronounce your independence. But there is a difference of course, because then you enter into a legal aspect, and recognition is something you can only do once … …So the transfer of sovereignty took place in 1949…”
Dengan demikian, Pemerintah Belanda hanya “menerima” secara politis dan moral, dan tetap tidak mau mengakui de jure, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Dan bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah “pemberian” Belanda yang dilimpahkan (soevereiniteitsoverdracht) pada 27 Desember 1949, sebagaimana ditegaskan Ben Bot. Sehubungan agresi militer yang dilancarkan tentara Belanda, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dalam pidatonya pada 16 Agustus di Deplu Ben Bot mengatakan:
“…In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering…”
Jadi yang diucapkan adalah regret (penyesalan) dan bukan apology (permintaan maaf). Atas pernyataan Ben Bot tersebut, Radio Netherland pada 17 Agustus 2005 memberikan komentar dengan judul: “Belanda Sedih Tapi Tidak Minta Maaf.”
Sehubungan pertanyaan Dian Krishna mengenai masalah kompensasi, Ben Bot mengatakan antara lain:
“…First of all you should not forget of course, that in the past we have contributed large for the development aid…Not only sum of money. Many people have been here, many people from the Netherlands to help Indonesian people. We have undertaken large projects everywhere in the country to stabilate the growth… This is not the time to talk about compensation. We have tried to compensate in the past in many ways as I have tried to explained…”
Ben Bot di sini membalikkan fakta, kekayaan yang diperoleh Belanda dari Indonesia jumlahnya jauh melebihi “bantuan” yang diberikan Belanda kepada Indonesia, yang sebenarnya sebagian besar berupa utang yang harus dibayar kembali beserta bunganya. Di awal pembangunan kembali Belanda yang hancur setelah masa pendudukan Jerman selama Perang Dunia II, selain mendapat dana Marshall Plan sebesar 1,127 miliar dolar AS dari Amerika Serikat, Belanda juga memperoleh “dana kompensasi” dari Indonesia sebesar 4 miliar gulden. Sebagai salah satu butir hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan Pemerintah India-Belanda, harus menanggung utang Pemerintah India-Belanda kepada Pemerintah Belanda sebesar 6,5 miliar gulden. Akhirnya disepakati jumlah 4,5 miliar gulden –termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan Pemerintah Belanda untuk agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948- yang telah dibayar sebesar 4 milyar gulden antara tahun 1950 – 1956 (lihat tulisan Lambert Giebels: ”De indonesische injectie” dalam majalah Belanda De groene Amsterdamer, 5 Januari 2000). Pembangunan kembali Belanda yang pesat setelah Perang Dunia II dinamakan “keajaiban Belanda” (le miracle hollandais), seolah-olah hanya dengan bantuan Marshall Plan, dan perihal “de indonesische injectie” baru diungkap oleh Lambert Giebels di Belanda tahun 2000. Selain menghentikan pembayaran, Pemerintah Sukarno juga secara sepihak membatalkan hasil Persetujuan KMB mengenai Uni Indonesia-Belanda. Setelah itu dimulai konfrontasi terhadap Belanda sehubungan masalah Irian Barat (Papua) dan kemudian Pemerintah RI menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Namun Pemerintah Orde Baru pada 1969 diam-diam mengabulkan tuntutan ganti-rugi perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi di masa pemerintahan Sukarno sebesar 600 juta gulden. Banyak orang Belanda yang mengakui, kemakmuran Belanda sekarang berkat harta dan kekayaan yang mereka peroleh dari Bumi Nusantara selama ratusan tahun. Seandainya dihitung kekayaan yang dikuras dari bumi Nusantara selama ratusan tahun tersebut, jumlahnya pasti fantastis. Seorang mahasiswi Belanda, Annemare van Bodegom, pada 1996 mengadakan penelitian untuk menyusun skripsinya. Ia menyoroti periode antara tahun 1830 –1877, selama periode tanam paksa (cultuur stelsel). Keuntungan bersih (batig slot) yang diraup Belanda mencapai 850 juta gulden, yang bila dikonversikan dengan index harga tahun 1992, maka nilainya setara dengan 15,4 miliar gulden (lihat tulisan Denny Sutoyo-Gerberding, di harian Kompas 15 Agustus 2001). Dapat dibayangkan, betapa besarnya kekayaan yang dikuras dari tahun 1602 – 1942! Ironis memang, bukannya Belanda yang memberikan kompensasi, melainkan bangsa Indonesia yang terus-menerus “membiayai” pembangunan Belanda, termasuk di masa sulit mereka setelah perang Dunia II.
Apabila menghitung semua hal-hal tersebut di atas, maka “development aid” yang diberikan Pemerintah Belanda terlihat sangat kecil.
Namun mengapa Pemerintah Belanda tetap ngotot menyatakan, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949?
Ketika balatentara Dai Nippon menyerbu Asia Tenggara termasuk Indonesia, pada 9 Maret 1942 di Pangkalan Udara Kalijati dekat Subang, Jawa Barat, Jenderal Hein ter Poorten sebagai Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, secara resmi menandatangani dokumen MENYERAH TANPA SYARAT kepada Tentara XVI Jepang di bawah Letnan Jenderal Hitochi Imamura. Setelah digempur hanya 7 hari, tentara Belanda yang “perkasa” -hampir tanpa perlawanan sedikit pun- menyerah kepada tentara Jepang. Sangat memalukan bagi mereka, karena dengan demikian hilanglah mitos superioritas ras kulit putih, yang telah menyatakan diri sebagai ras unggul yang tak terkalahkan, ternyata dapat dikalahkan bangsa Asia! Dengan demikian Belanda kehilangan haknya atas India-Belanda. Fakta ini menunjukkan, Belanda tidak mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya dan melindungi rakyatnya. Ini terjadi antara lain disebabkan karena Pemerintah India-Belanda keras kepala dan menolak mobilisasi serta mempersenjatai rakyat Indonesia. Sebagaimana diusulkan banyak pemimpin bangsa Indonesia yang telah memperkirakan, Jepang akan melancarkan agresi militernya ke Asia Tenggara termasuk ke Indonesia, yang masih dijajah Belanda.
Lebih dari 200.000 orang Belanda ditahan Jepang di kamp-kamp interniran. Banyak dari mereka yang mati karena penyakit, siksaan atau karena kelaparan. Jepang kemudian juga menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945.
Namun dokumen kapitulasi tersebut baru ditandatangani pada 2 September 1945, di atas kapal Missouri di Tokyo Bay. Tentara Sekutu yang ditugaskan melucuti tentara Jepang pertama kali mendarat di Jakarta pada 29 September 1945, dan bahkan Brigade “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal AWS Mallaby baru tiba di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, di mana saat itu, seluruh tentara Jepang di Surabaya telah dilucuti rakyat Indonesia. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat Vacuum of power di seluruh wilayah pendudukan Jepang, termasuk di bekas jajahan Belanda. Di masa tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, dan pada 18 Agustus membentuk pemerintahan, dengan pengangkatan Sukarno sebagai Presiden dan M Hatta sebagai Wakil Presiden, sehingga dengan demikian tiga syarat untuk pembentukan negara terpenuhi, yaitu adanya wilayah, penduduk, dan pemerintahan. Dengan menyerahkan jajahannya secara resmi kepada Jepang, maka Belanda kehilangan segala legitimasinya atas wilayah tersebut. Karena itu, ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka peristiwa ini bukanlah pemberontakan terhadap Belanda, sebagaimana digarisbawahi delegasi Republik Indonesia yang dipimpin Lambertus Nicodemus Palar, dalam Memorandum yang disam paikan dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada 20 Januari 1949, setelah agresi militer Belanda II yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948, yaitu:
“… Bahwasanya menurut sejarahnya Republik Indonesia bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya. Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.
Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri. DEMIKIANLAH maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada imperialis Jepang tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat mempertahan-kannya, tetapi juga menolak memberikan kepada rakyat Indonesia sendiri kekuatan untuk melawan Jepang. Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri …”
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda yang tetap ingin menjadi penguasa di Indonesia, tidak henti-hentinya melakukan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai jajahannya kembali, baik melalui agresi militer, maupun melalui jalur diplomasi di PBB. Upaya Belanda tersebut, awalnya didukung Inggris dan Australia yang menyalahgunakan kewenangan sebagai tentara Sekutu (Allied Forces). Dengan kekuatan 3 Divisi Inggris (British-Indian Divisions) di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dan 2 Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie Morsehead menghancurkan kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Sesuai Civil Affairs Agreement antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, Inggris dan Australia “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan wilayah yang telah “dibersihkan,” kemudian diserahkan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).
Tentara Australia berhasil “membersihkan” wilayah Indonesia Timur, dan “menyerahkan kepada Belanda pada 13 Juli 1946. Dr HJ van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal kemudian menyelenggarakan Konferensi Malino pada 15 – 25 Juli 1946, dimana diletakkan dasar-dasar pembentukan Negara Indonesia Timur, awal rencana pembentukan negara federal Indonesia. Perjuangan di bidang bersenjata dan di bidang diplomasi para pemimpin Republik Indonesia serta tekanan dunia internasional akhirnya memaksa Belanda ke meja perundingan.
Pada 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang menghasilkan keputusan antara lain Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), dimana Republik Indonesia menjadi satu Negara bagian di samping 14 negara boneka bentukan Belanda. Pemerintah Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah RIS. Pada 27 Desember 1949 di Paleis op de Dam di Amsterdam, Belanda, Ratu Beklanda “melimpahkan kedaulatan” (Soevereniteitsoverdracht) kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, dan paralel dilakukan di Batavia/Jakarta, di mana Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Lovink “menyerahkan kedaulatan” kepada Wakil Perdana Menteri RIS Hamengku Buwono IX.
Namun sejak itu, satu per satu negara-negara boneka bentukan Belanda dipaksa rakyat untuk dibubarkan, atau sukarela membubarkan diri, dan pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran negara federal Republik Indonesia Serikat. Pada 17 Agustus 1950, dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus 1945. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Dengan demikian Pemerintah Belanda sekarang berhubungan dengan Republik Indonesia (NKRI), dan bukan dengan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS).
Demikianlah sejarahnya mengapa Belanda sampai sekarang tetap tidak mau mengakui, kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Hal ini pelecehan terhadap kedaulatan Republik Indonesia, dan penghinaan terhadap martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Selama puluhan tahun, lebih dari 200.000 orang Belanda yang selama Perang Pasifik dari tahun 1942 – 1945 mendekam di kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia (dahulu India Belanda), menuntut Pemerintah Jepang meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada mereka atas “perlakuan buruk” yang mereka alami di masa itu.
Berbagai organisasi dan yayasan mereka dirikan, antara lain Stichting Japanse Ereschulden (Foundation of Japanese Honorary Debts) -Yayasan Utang Kehormatan Jepang- yang didirikan 4 pada April 1990. Yayasan yang terdaftar di PBB ini telah mengirim sebanyak 125 Petisi (!) kepada Pemerintah Jepang, dan yang terakhir tertanggal 12 April 2005. Akhirnya tuntutan mereka separuhnya terkabul. Pada 2 Mei 2005, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi secara resmi meminta maaf kepada rakyat Belanda. Dia mengatakan:
“Humbly accepting the fact that Japan inflicted grave damage and pain on people of many countries including the Netherlands during the Second World War, we would like to deeply reflect on this and offer heartfelt apology.”
Namun permintaan maaf Jepang kepada negara-negara yang telah menjadi korban keberingasan dan berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II, bukanlah dilakukan dengan tulus iklas, melainkan karena Jepang mempunyai maksud tertentu, yaitu Jepang berambisi duduk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan untuk itu perlu dukungan banyak negara.
Di Belanda, 5 Mei 2005 merupakan puncak perayaan besar-besaran dalam rangka 60 tahun pembebasan dari pendudukan Jerman selama Perang Dunia II. Pada 13 Mei 1940, Wilhelmina, Ratu Belanda kabur ke Inggris, dan pada 14 Mei 1940, Angkatan Perang Belanda menyerah Jerman. Di India-Belanda, Angkatan Perang Belanda menyerah kepada Jepang pada 9 Maret 1942, di Kalijati, dekat Subang. Pada 5 Mei 1945, Belanda dibebaskan pasukan sekutu dari tentara pendudukan Jerman, dan pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Hari-hari pembebasan tersebut dirayakan setiap tahun. Setelah bebas dari pendudukan Jerman dan dari interniran Jepang, Belanda lupa atas perilaku dan kekejaman tentara pendudukan Jerman di Belanda dan Jepang di India Belanda.
Hal yang sama, dan bahkan lebih kejam lagi mereka lakukan terhadap bangsa Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Dalam kurun waktu 1946 sampai 1949, di mana tentara Belanda, KL dan KNIL melakukan berbagai agresi militer -dalam upaya yang sia-sia untuk menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI)- banyak terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan tentara Belanda yang masuk dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), seperti peristiwa pembantaian ribuan rakyat di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 sampai Februari 1947 dan di Rawagede pada 9 Desember 1947. Terdapat 431 penduduk desa dibantai, karena mereka tidak mau memberitahu tempat persembunyian gerilyawan Indonesia.
Pelanggaran-pelanggaran HAM berat harus dimajukan ke pengadilan internasional, termasuk ke pengadilan kejahatan internasional - International Criminal Court - di Den Haag, Belanda, karena merupakan kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Apabila Belanda menuntut Jepang atas “perlakuan buruk” yang dialami para interniran Belanda antara tahun 1942 – 1945, maka sudah pada tempatnya bila bangsa Indonesia menuntut keadilan atas agresi militer, pembantaian rakyat yang tak berdosa, perkosaan terhadap perempuan, yang dilakukan tentara Belanda antara tahun 1945 – 1950. Pemerintah Belanda harus mengakui kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945, meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan, serta memberikan kompensasi atas semua kehancuran yang mereka lakukan, terutama antara tahun 1945 - 1950.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar